Jangan bertanya padaku si anak durhaka mengenai Ibu, perempun yang disapa
dengan sepenuh keagungan jiwa, pemujaan, permohonan doa dan restu. Aku tak mau
mengenal Ibu. Aku telah dititipkan Ibu pada saudara sepupunya, perempuan bawel
yang mempekerjakanku serupa budak. Aku lari dari keluarga perempuan bawel itu,
dan menemukan duniaku sendiri, bekerja, hingga membeli rumah tua yang kini
kutempati.
Aku terperanjat ketika datang ke rumahku seorang gadis dengan pandangan
yang berkaca-kaca. Ia mencari ibu kandungnya. Perempuan dalam lukisan di ruang
tamuku, dikatakan sebagai sosok Ibu yang dicarinya. Ditatapnya lekat-lekat
lukisan itu. Sebuah lukisan perempuan berbaju hijau lumut, berkain, duduk
menyamping di kursi ukir. Lukisan itu telah dipakukan di dinding ruang tamu,
barangkali setua bangunan ini. Tak kutemukan keterangan apa pun mengenai
lukisan itu, hingga datang seorang gadis, yang bertanya, di mana perempuan
dalam lukisan itu.
Sama sekali aku tak mengerti, di mana sekarang perempuan dalam lukisan
itu tinggal. Apa peduliku dengan perempuan itu? Pada Ibu yang melahirkanku,
ketika ia sakit dan meninggal dunia, tak kutengok sekejap pun. Ia dimakamkan,
tanpa kehadiranku. Dua adik perempuanku yang tak pernah disia-siakan Ibu
sepertiku berkali-kali meneleponku. Tak kubalas.
Lalu, apa artinya kini, melacak seorang ibu dari sebuah lukisan? Lukisan
itu telah menjadi satu dengan dinding, semenjak rumah tua itu kubeli. Sama
sekali aku tak terganggu dengan lukisan itu, sampai datang seorang perempuan
muda itu dari kota yang jauh. Ia mencari pemilik rumah, seorang ibu yang
dilukis dan terpasang di dinding ruang tamu. Melacak wanita dalam lukisan, yang
lengkung alisnya tergores lembut, dengan sepasang mata memendam perhatian.
Garis bibir dan dagu menampakkan kesepian yang panjang dan tertahan.
Lukisan itu selalu bergetar pada saat angin berembus lewat pintu ruang
tamu yang terbentang. Lukisan itu tepat berhadap-hadapan dengan pintu, dan
setiap saat angin menggetarkannya. Perempuan dalam lukisan itu seperti bergerak
dari bingkainya.
Perempuan muda itu memandangi lukisan yang bergetar dengan mata yang
berkejap. Sepasang mata yang penuh harap.
Antarkan aku ke rumah Ibu!
Aku masih tergagap. Merasa asing dengan permintaannya. Tak pernah aku
mendatangi Ibu. Apalagi mencarinya. Hingga Ibu jatuh sakit, terbaring koma
lebih dari sepuluh hari, dan pada akhirnya meninggal di hari kesebelas, aku tak
menengoknya. Telepon rumah berdering berkali- kali. Tak berhenti berdering.
Kututup kembali. Kubiarkan mereka dua adik perempuanku menelepon dan
mencaci-maki. Aku tak peduli.
Maaf, aku tak bisa menemanimu.
Kalau begitu, beri aku alamat Ibu.
Perempuan muda itu memendam sorot mata yang penuh harap dan cemas. Hari
sudah larut. Ia belum beranjak dari rumahku, wajahnya tampak ragu. Tapi aku tak
mau jatuh iba padanya. Aku tak ingin melihat dia bertemu dengan ibunya—wanita
yang telah melahirkannya.
Telah kuputuskan mencari Ibu. Tak kusangka akan sesulit ini. Sekalipun
Ibu telah membuangku, tak akan kucemooh dia. Aku ingin bertemu dengannya.
Di pelataran rumah, dia masih membujukku untuk menemani mencari ibunya.
Kutolak. Kali ini suaraku dingin. Mungkin ketus. Aku memang harus memperlihatkan
pendirianku padanya. Aku tak suka melihat raut wajahnya yang cengeng.
Lelaki pemilik rumah itu sungguh menjengkelkan. Dia tak mau
mengantarkanku mencari alamat Ibu. Baru pertama kali aku menginjakkan kaki di
kota kecil kelahiranku ini. Dua puluh tiga tahun orangtua angkatku membawaku
meninggalkan kota kecil yang sepi ini. Baru seminggu yang lalu, ketika aku
hendak dilamar calon suami, kedua orangtua angkatku berterus terang. Kau masih
memiliki seorang ibu ya, perempuan yang mengandung dan melahirkanmu. Ia tinggal
di sebuah rumah tua, dengan arsitektur lama. Kulacak. Kutemukan rumah yang
kokoh, tinggi, dan kusam. Tapi aku tak menemukan Ibu. Rumah itu sudah
dijualnya. Dan lelaki muda yang telah membeli rumah Ibu, alangkah tolol dia.
Sama sekali tak mau menolongku.
Hanya lukisan tua itu yang menghiburku. Setidaknya, aku sudah melihat
wajah Ibu semasa muda. Bermata teduh, dan sekelam lumpur yang dalam. Mungkin
lumpur itu menenggelamkan seseorang. Aku tak paham, barangkali lelaki-lelaki
terperosok ke dalam lumpur mata itu. Orangtua angkatku tak memberi tahu siapa
ayahku. Aku hanya diberi tahu tentang Ibu. Dan Ayah, bahkan namanya pun tak
disebutkan. Apalagi wajahnya, sungguh tak kukenal.
Ketika kutemukan rumah tua, sesuai dengan alamat yang diberikan orangtua
angkatku, aku merasa lega. Apalagi di dinding ruang tamu pemuda itu terpasang
wajah Ibu. Wajah wanita yang menanggung kesepian yang terpendam. Kurasa aku
sudah dekat bersua Ibu. Tapi aku cuma menemukan lukisannya. Sama sekali tak
kutemukan jejaknya. Mungkin aku masih jauh bersua dengannya.
Mestinya pemuda pemilik rumah itu bisa membantuku. Dia memilih tak mau
tahu persoalanku. Ia menutup diri, dan aku telah gagal membuka hatinya. Ia
tenggelam ke dalam dirinya sendiri. Dan aneh, bagiku, bagaimana mungkin seorang
lelaki yang mencapai usia tiga puluh seperti dia, tanpa istri dan anak, malah
berhasrat memenjarakan diri?
Larut malam, tak ada taksi yang bisa kusewa untuk melacak rumah Ibu. Kota
kecil ini sungguh sunyi. Kutemui beberapa becak yang diparkir di tepi jalan
raya dengan pengayuh yang tertidur di dalamnya. Mereka tak memerlukan
penumpang. Ini kota tua. Kota yang mati pada malam hari. Orang tak berani
melintas di jalanan. Lampu-lampu pun remang-remang, dan kelelawar berseliweran
dengan kepak sayap yang memperpekat sunyi. Langit di atas kota serupa selubung
kain yang mudah koyak.
Kudapatkan sebuah hotel kecil, tua, dengan kamar yang melapuk pintunya,
aus catnya, dan berdebu. Kecoa berseliweran. Nyamuk berdenging merubung
tubuhku. Bagaimana aku bisa tidur di kamar serupa ini? Segelas teh dan sepotong
kue yang dihidangkan pun terasa basi. Tak mungkin aku beristirahat dengan
suasana jorok macam ini.
Berjalan-jalan meninggalkan kamar hotel, aku ingin menghirup udara malam
kota tua ini. Barangkali aku akan menemukan rumah Ibu. Ingin kutebus kehinaanku
sebagai perempuan tak beribu, yang hanya mengenal orangtua angkat. Getir rasa
hatiku tak mengenal ibu kandung. Aku ingin sebagaimana layaknya seorang gadis
yang dipinang calon suami, bisa mempertemukan dengan ibu kandung. Bahkan
mungkin bisa mempertemukan dengan kerabatku. Tak hanya orangtua angkat yang
bisa kutunjukkan pada keluarga mempelai lelaki.
Tapi kini, di kota tua ini, aku mesti berjalan sendirian mencari Ibu.
Kalaupun calon suamiku memutuskan untuk meninggalkanku, karena aku tak memiliki
ibu kandung yang bisa kupertemukan dengannya, aku harus rela. Aku tak berhak
mencegahnya.
Terus melangkah dalam sunyi malam yang gelisah, sampailah aku di
alun-alun, di bawah pohon beringin, di dekat penjual wedang ronde. Seorang
lelaki tengah duduk mencangkung. Menikmati kesunyiannya. Aku merasa sangat
mengenal lelaki itu. Memang betul. Dialah pemilik rumah tua, yang baru saja
kutinggalkan. Duduk seorang diri. Terperanjat sebentar menatapku. Kutemukan
lelaki muda itu tengah menyendoki wedang ronde. Hati-hati, pelan sekali, ia
meletakkan minumannya, seperti tak pernah mengenalku. Mungkin ia tak mau
bertemu dengan siapa pun. Lelaki itu terasing dan memilih jalan sunyi. Ia
memang berpura-pura tak mengenalku. Sepasang matanya mengusir, menolak, bahkan
memusuhiku.
Aku masih berharap kau mau menemaniku mencari Ibu, pintaku.
Larut malam begini?
Bila tak kuantar, aku tak tahu jalan.
Memandangiku dengan mata yang keropos, lelaki itu mencairkan kebenciannya
padaku. Mata itu berkabut. Aku menatapnya dengan hangat. Dan kabut dalam mata
itu lenyap. Lama. Lambat-lambat. Matanya mulai bersahabat. Dia tak lagi
menyembunyikan muka dariku.
Kami berjalan bersama dalam samar cahaya bulan, tanpa tegur sapa. Dia
melangkah dengan suara kaki yang pasti. Tak seorang pun kami temui di jalan.
Hanya anjing-anjing buduk yang mengais-ngais sampah, sesekali melintas. Kami
melangkah dalam diam. Menyusur jalan lengang, berkelok-kelok, kian jauh dari
jantung kota, dan memasuki perkampungan.
Langkah kakiku sudah penat ketika kami mencapai sebuah rumah yang diduga
pemuda itu ditempati Ibu. Tengah malam lewat, kami memasuki pelataran rumah tua
dengan tembok mengelupas dan berlumut. Gelap. Kusentuh pintunya. Berderit
terbuka. Di dalam pun tak terlihat seseorang. Tanpa cahaya. Kelelawar terbang
menerobos celah pintu. Laba-laba bergerak menggetarkan jaring-jaringnya.
Dengan cahaya korek api kami menjelajahi seluruh ruangan. Rumah tua ini
memang sudah ditinggalkan penghuninya. Debu, lumut, dan lembab udara, menyesakkan
dada. Aku berhenti lama di depan pintu sebuah kamar. Barangkali di sinilah Ibu
tidur. Kupandangi. Dan kubayangkan Ibu tergolek. Sendiri. Tatapannya
menerawang. Kalau Ibu tengah terbaring di kamar ini, tentu aku akan
menyempatkan diri bertanya. Kenapa Ibu memberikanku pada orang lain?
Barangkali pertanyaan ini akan menyakitkan Ibu. Tapi ini akan meruntuhkan
beban yang menekan bergelayut dalam kepalaku. Toh Ibu kata orangtua angkatku
tak memiliki anak selain aku. Apa lagi yang dirahasiakannya dariku?
Mari kita pulang! ajak pemuda itu, pelan.
Pulang?
Ya. Menginaplah di rumahku.
Membayangkan perempuan muda itu, sambil memandangi lukisan yang
bergantung di ruang tamu, aku mulai sadar kini, mereka memang mirip. Malam itu
ketika perempuan muda itu tidur di kamar depan, aku sempat memandanginya. Aku
tersihir. Terkesima. Dialah perempuan dalam lukisan itu. Tubuhnya bergeletar.
Aku seperti terisap untuk mendekatinya, lebih lekat, lebih lekat, menyatu ke
dalam kesunyian yang mula-mula lembut, dan lambat laun bergelora,
mengempas-empaskanku.
Tak kutemukan perempuan muda itu saat aku terbangun. Dia sudah
menghilang. Mungkin sudah kembali pulang. Mungkin ia mencari ibu kandungnya.
Aku tak berselera melakukan apa pun. Cuma memandangi perempuan dalam lukisan
itu. Tiap kali angin berhembus, lukisan itu bergetar. Tapi kali ini dadaku pun
bergetar. Tak bisa kuredakan.
Malam ketiga setelah perempuan muda itu menghilang, aku tak kuasa menahan
diri. Aku menanti fajar untuk melakukan perjalanan. Telah kuputuskan untuk melacak
perempuan muda itu. Tak mungkin kutunda lagi. Aku merasa keropos. Tak ingin
kurasakan kekeroposan hati kian menjalar melapukkan seluruh persendianku. Ingin
kutemukan rumah tempat tinggal perempuan itu. Ini sungguh mendebarkan, serupa
memasuki permainan masa kanak-kanak bersama teman-temanku—sebelum aku
direnggut dari dunia itu untuk mengikuti saudara sepupu Ibu. Akan kucari
perempuan titisan lukisan di ruang tamu. Biar kuajak dia ke rumahku, dan
kutemani mencari ibu kandungnya ke mana pun, sampai ketemu.