Semasa
kecilku Ibu selalu berkisah tentang hantu perempuan yang menghuni loteng rumah
kami. Dulu aku ketakutan setengah mati sehingga kusembunyikan kepalaku di balik
bantal bila malam tiba. Meski begitu, tidak ada yang lebih menggelitik
fantasiku selain cerita misteri.
Aku selalu
menganggap diriku detektif cilik dengan rasa ingin tahu berlebih. Malam hari
yang kerap diwarnai bunyi- bunyian gaduh dari arah loteng mengundang jiwa
penyelidikku. Sebenarnya bunyi itu hanyalah tikus yang berlari-larian, namun masa
kecil membuka ruang imajinasi tak berujung. Aku berkhayal di sana ada harta
karun tersembunyi dalam peti. Untuk membukanya kita harus terlebih dahulu
melawan penjaganya, yakni seekor laba- laba raksasa yang membungkus tubuh
korbannya dengan jaring sebelum menyantapnya. Ruangan itu begitu gelap, namun
begitu menyalakan lilin kau akan melihat mayat-mayat manusia tergantung kaku.
Siang dan
malam kucoba mengintip loteng rumahku, namun Ibu selalu menguncinya. Aku
senantiasa berharap, saat kutempelkan telingaku di pintu loteng yang tertutup,
aku akan mendengar teriakan seorang anak. Ia adalah putri perompak yang disekap
musuh-musuh ayahnya. Jika anak itu kutemukan, ia akan menunjukkan padaku
rahasia harta karun terbesar abad ini.
Rupanya daya
khayalku yang terlalu tinggi membuatku tak bergairah melakukan apa pun selain
memikirkan rahasia di balik pintu itu. Kalaupun kucoretkan krayon pada buku
gambarku, yang kugambar adalah loteng kelam dengan harta karun bersinar-sinar
di dalamnya. Di lain waktu, kugambar ular raksasa yang melingkar-lingkar dan
siap menerkam mangsanya. Berbagai versi isi loteng itu telah kureka, sampai
akhirnya ibuku bercerita tentang apa yang menurutnya benar ada di dalamnya.
Ia, rahasia
terbesar loteng rumahku, adalah hantu perempuan berambut panjang terurai yang
selalu duduk di depan alat pemintal. Wajahnya penuh guratan merah kecokelatan,
seperti luka yang mengering setelah dicakar habis- habisan oleh macan. Bola
matanya berwarna merah seperti kobaran api. Bila ia membuka mulutnya, kau akan melihat
taring-taring yang panjang. Ia begitu khusyuk di depan pemintal itu karena ia
tengah membuat selimut untuk kekasihnya. Ia telah jatuh cinta pada seorang
laki-laki, manusia biasa yang suka berburu di tengah hutan.
Hantu itu
mampu berubah wujud di siang hari, saat ia ingin berbaur dengan manusia. Ia
bisa menjadi apa saja dari perempuan, laki-laki, anak kecil, sampai seorang tua
renta. Tatkala melihat si pemburu, hantu perempuan itu mengubah wujudnya
menjadi seorang gadis jelita. Lelaki itu terpesona. Mereka lantas bertemu di
padang ilalang keemasan demi sekadar berbagi cerita. Lelaki itu tak tahu bahwa
setiap kali si perempuan hadir, burung-burung beterbangan tak tentu arah; siput
dan binatang-binatang kecil mulai gelisah. Dibandingkan manusia, indera binatang
memang lebih terasah.
Suatu hari,
lelaki itu pamit untuk pergi beberapa lama. Ia ingin menjelajahi hutan di
seluruh pelosok negeri demi mencari singa berbulu emas. Singa itu, konon,
merupakan harta tak ternilai yang menjadikan pemiliknya kaya raya. Hantu
perempuan sedih tak terkira, tapi ia tahu dengan berat hati harus direlakannya
sang kekasih. Sebelum si lelaki memulai petualangannya, mereka berjanji bertemu
di hutan.
Sore itu
cahaya matahari mirip neon yang meredup. Lelaki pemburu bersandar di bawah
pohon bersama kekasihnya, bicara tentang mimpi-mimpi indah yang akan terwujud
setelah pencarian singa berbulu emas itu berakhir. Mari jadi istriku dan
hiduplah kita di tepi sungai. Rumah kita kecil, tapi setiap saat terdengar
gemercik air dan derai tawa anak-anak. Si hantu perempuan begitu terbuai
mendengarnya. Ia tidak menyadari bahwa malam mulai mengancam. Pohon-pohon kekar
menghitam dipagut awan gelap. Anjing- anjing mulai melolong, menyadari adanya
makhluk gaib yang menegakkan bulu kuduk. Dari peraduannya, bulan purnama
merayap naik tanpa suara.
Hantu malang
itu lupa kalau hanya di siang hari ia bisa berubah rupa. Malam telah
menanggalkan topengnya, dan sinar bulan menyinari wajah telanjangnya. Laki-laki
kekasihnya sekonyong-konyong berteriak. Perempuan cantik yang dikenalnya telah
berubah menjadi makhluk buruk rupa yang begitu mengerikan. Tidak ada kata- kata
yang bisa menggambarkan rasa takut laki-laki itu. Ia lari terbirit-birit
meninggalkan hantu perempuan itu sendirian.
“Untunglah
laki-laki itu berhasil menyelamatkan diri!” aku berseru sambil mendekap
bantalku, takut bercampur lega.
“Kau belum
tahu apa yang terjadi pada hantu perempuan,” sela ibuku.
“Pentingkah?”
“Hei! Dia
tokoh utama kita!”
O, ya, ya,
kuanggukkan kepalaku. Kita memang sering kehilangan fokus dengan meniadakan
hal-hal yang kita anggap tak penting.
Kata ibuku,
hantu perempuan itu terpukul sekali. Sebelum ia sempat mengungkapkan siapa
dirinya, kekasihnya sudah lari menjauh. Sungguh- sungguh ia murka. Ia terbang
dari rumah ke rumah, membuat gaduh, mengganggu ketenangan manusia. Bayi
menangis kala merasakan kehadirannya dan para pemuka agama sibuk berkomat-kamit
mengusirnya. Tetapi, suatu hari hantu itu sadar bahwa dengan merusak ia tetap
tidak mampu mematikan rasa cintanya pada si pemburu. Ia ingat, kekasihnya tidak
punya pakaian yang cukup selama perjalanan panjang itu. Tak ada selimut tebal
yang akan melindunginya jika ia kedinginan di hutan. Hantu perempuan itu pun
memilih sebuah tempat persembunyian yang gelap untuk membuat selimut bagi
kekasihnya. Ya, di loteng rumah kami lah ia bekerja dengan alat pemintal selama
beribu-ribu malam.
“Dan ia
masih melakukannya sekarang?”
Pekerjaan
itu, kata ibuku, tak pernah selesai. Karena si hantu perempuan tidak
menggunakan benang untuk selimutnya. Ia memintal kegelapan.
Aku berhenti
memikirkan si Pemintal Kegelapan ketika Ibu bercerai dengan Ayah. Sejak usiaku
menginjak 13 tahun, aku tinggal berdua saja dengan Ibu. Ia masih bercerita,
namun entah mengapa, ceritanya mulai terasa hambar. Perkiraanku, ibuku mulai
bosan mendongeng. Matanya kosong. Ceritanya tidak berenergi. Tidak seperti
ketika ayahku masih tinggal bersama kami, kini Ibu terlihat kelelahan karena
sering pulang larut malam.
Ibuku
berupaya membuat kehidupan kami tetap seperti semula. Ia tetap mengantarku
sekolah, menyiapkan sarapan, meneleponku dari kantornya di siang hari, dan
mencium pipiku sebelum tidur. Ia selalu bersikap manis, tapi seperti yang sudah
kukatakan sebelumnya, ia kehilangan greget. Ketika aku beranjak remaja, aku
mulai jenuh dengan sepinya suasana rumah dan lebih suka pergi bersama
teman-teman sekolahku. Frekuensi pertemuanku dengan Ibu pun semakin jarang,
tapi ia tetap melakukan segalanya: mengantar sekolah, menyiapkan makanan,
menelepon, mencium.
Ketika
usiaku 16 tahun, Ibu mulai memiliki kekasih. Seorang laki-laki tinggi besar
sering datang ke rumahku. Aku memanggilnya Om Ferry. Aku menyukainya karena ia
selalu bercerita tentang petualangannya di luar negeri. Namun, beberapa bulan
kemudian ada laki-laki lain. Om Riza. Setelah itu, laki- laki berbeda datang
silih berganti hingga aku tidak bisa mengingat nama mereka semua. Seorang
tetangga sempat bertanya saat aku menyiram bunga di pekarangan, “Yang mana yang
akan jadi ayah barumu?” Terlalu banyak laki-laki yang singgah di rumah, dan ini
menyebabkan timbulnya gosip-gosip yang memerahkan telinga.
“Sebetulnya
apa kerja ibumu?” tanya Nina, anak tetangga di depan rumahku.
Aku
mengangkat bahu. Ibuku membuat sarapan pagi dan mencium pipiku di malam hari.
Haruskah aku tahu lebih banyak jika itu sudah cukup bagiku?
“Ibuku
bilang ada yang disembunyikan ibumu,” kata Nina, setengah berbisik. “Apa ibumu
benar-benar bisa menghidupimu hanya dengan bekerja di kantor?”
Gunjingan
tetangga semakin ramai. Ibu dituduh memanfaatkan pacar-pacarnya dengan menguras
saku mereka. Sebagian lagi meragukan kalau Ibu benar-benar berpacaran. Ada pula
yang menyebar berita bahwa Ibu menggelapkan uang kantor. Inti dari semua
tudingan itu adalah bahwa ibuku memiliki posisi yang membahayakan sebagai
seorang janda. Semuanya berseliweran di kepalaku, namun tak satu hal pun yang
berani kutanyakan pada Ibu.
Semakin
bertambah usiaku, semakin kuyakin bahwa ibuku memang menyimpan sesuatu.
Kusadari bahwa sejak lama ia sering bersikap aneh. Aku ingat pernah terbangun
suatu malam ketika ayah dan ibuku bertengkar dan saling melempar kata-kata
kasar yang tidak seharusnya terucap. Keesokan harinya, Ibu membuatkanku roti
isi selai stroberi dan susu cokelat sambil bersenandung riang. Suaranya seindah
kicau burung kenari.
Di hari
Minggu, aku pernah mendengar Ibu memecahkan piring sambil berteriak di dapur.
Menurut Ibu, kala mencuci, tangannya terlalu licin sehingga piring itu terlepas
dari genggamannya. Menurutku tidak. Aku yakin ia sengaja memecahkannya. Tapi
setelah itu Ibu langsung menutup kasus dengan mengajakku nonton bioskop.
Sesekali aku
juga mendengar suara ganjil dari kamarnya. Suatu ketika, malam yang lengang
dikejutkan oleh teriakan bercampur tangis penuh amarah. Aku keluar dari kamarku
dan bergegas menghampiri kamar Ibu. Kuketuk kamarnya. Setelah sekian lama
menunggu, barulah ia membuka pintu. Katanya aku telah mengganggu tidur
lelapnya. Ia menuduhku berkhayal mendengar teriakan seseorang.
“Kau hanya
bermimpi buruk,” tukasnya.
Padahal, aku
yakin sekali suara Ibu-lah yang kudengar.
Kekasih-kekasih
ibu sekaligus gosip panas yang menyertainya menghilang bersama waktu yang
terkikis. Ibuku akhirnya pensiun dan giliranku membiayai hidup kami karena aku
sudah bekerja. Kami sering pergi bersama di akhir pekan, tetapi aku tahu ada
misteri dalam dirinya yang tidak pernah dapat kubongkar. Ia selalu menyimpan
sesuatu, termasuk tentang penyakit yang ternyata sudah lama menggerogoti
tubuhnya.
Ia mengidap
kanker leher rahim. Ibuku pergi ke dokter diam-diam dengan uang tabungannya. Ketika
aku mulai curiga, ia katakan bahwa masalahnya hanya kista yang baru tumbuh,
bukan kanker ganas. Aku tidak tahu harus marah atau sedih. Kucoba untuk
menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Aku ingin membuatnya bahagia. Entah
bagaimana caranya, karena kurasa aku tak pernah benar-benar mengenal Ibu.
Suatu hari
ia berkata waktunya tak akan lama lagi. Tanpa mendengar protesku, ia
menggandeng tanganku, “Aku ingin menunjukkanmu sesuatu.”
Ia
mengajakku ke loteng. Ya, loteng yang dulu luar biasa menarik. Aku sudah
melupakannya, seperti aku lupa wajah Ibu semasa ia menjadi tukang cerita nomor
satu.
Begitu pintu
terbuka setelah Ibu memutar kuncinya, aku melihat pemandangan yang cukup
mengecewakan. Loteng itu berbau apek, penuh debu, dan sarang laba-laba. Di dalamnya
ada satu set sofa kuno yang suram dan dimakan rayap. Gelap dan sesak, tapi tak
ada harta karun atau ular raksasa.
Tanpa
menghiraukan wajahku yang penuh keengganan, Ibu menuntunku menuju sebuah
cermin. Ia berdiri tepat di depan cermin itu, lalu menunjuk bayangan di
dalamnya.
Ia berujar
pasti, “Lihatlah. Itulah Pemintal Kegelapan.”
Aku melongo,
sama sekali tidak mengira Ibu mengatakannya. Pemintal Kegelapan hanya percikan
masa kecil yang telah kubuang jauh dan kukira telah Ibu lupakan. Namun demi
menghormati Ibu, kulihat sekilas pantulan di cermin itu. Bayangan Ibu. Tentu
saja.
“Ayo, lihat
sekali lagi!” desak Ibu.
Kutajamkan
penglihatanku. Kubawa ingatanku pada masa-masa kami masih menikmati misteri
loteng itu, mengucapkan selamat datang pada imajinasi liar tanpa batas dan
malam- malam meringkuk di balik selimut. Tiba- tiba kusadari aku tengah
merinding. Aku memang melihat Ibu. Ya, perempuan itu. Rambutnya terurai,
wajahnya penuh guratan pedih, matanya nyalang seperti bola api yang menari-nari
melumatkan siapa pun yang menatap. Hantu perempuan yang memendam cinta, rindu,
sakit, nafsu, amarah-memintal gairah pekat tanpa henti, tanpa selesai.
Ibu telah
jujur pada akhirnya. Tak ada misteri, tak ada teka-teki.
Ibuku
Pemintal Kegelapan.
0 komentar:
Posting Komentar